Minggu, 30 Januari 2011

LPI-PSSI Bertarung, Garuda Mati di Tengah

Seiring dengan keringnya prestasi tim Merah Putih di ajang dunia di tengah era keterbukaan informasi bagi publik, borok-borok pengelolaan persepakbolaan nasional terpapar gamblang. Di level manajemen organisasi, terpapar hasil audit oleh kantor auditor internasional yang pada pertengahan 2010 diminta mengelaborasi kemungkinan mismanajemen klub-klub di bawah naungan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang sejak delapan tahun terakhir dipimpin Ketua Umum Nurdin Halid itu.
Hasilnya, dari 16 klub yang mereka periksa, hanya tiga klub yang memiliki laporan keuangan teraudit. Padahal, puluhan miliar dana digelontorkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya. Temuan lain yang mencengangkan sekaligus memprihatinkan ialah dari klub-klub yang sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia (LSI) itu, hanya empat klub yang berbadan hukum. Selebihnya, klub-klub dikelola bagai perkumpulan atau organisasi amal.
Sementara itu, di level kompetisi, makin banyak pengelola klub yang nyaring “bernyanyi” mendendangkan lagu sumbang praktik mafia yang diduga melibatkan oknum pengurus PSSI, wasit, pengelola, klub, pelatih, dan pemain. Muncul mafia pengaturan pertandingan di luar lapangan yang dikenal sebagai “faktor nonteknis” penentu kemenangan. Kesebelasan dengan kemampuan teknis individu dan tim yang di atas angin malah bisa masuk angin karena tidak pandai menguasai faktor nonteknis itu.
Olahraga yang semestinya menjadi permainan sportif, menjadi ajang perilaku koruptif. Sepakbola yang semestinya mempraktikkan prinsip fair play malah menjadi ajang Playing Fair alias pameran pat gulipat itu. Peraturan di atas kertas bisa dibolak balik seperti zaman prakondisi menuju kiamat. Pemain tidak off side, disemprit off side agar gol gagal tercipta, sliding tackle bersih bisa menghasilkan “hadiah” penalti bagi tim lawan dan kartu merah bagi si pemain yang mencoba bermain profesional dengan tidak memainkan “sepakbola seolah-olah”.
Wajarlah ketika publik pecinta sepakbola menyambut begitu antusias munculnya Liga Primer Indonesia (LPI) sebagai kompetisi alternatif Liga Super Indonesia (LSI). Lahirnya kompetisi yang oleh PSSI dicap sebagai turnamen kelas antarkampung (tarkam) yang ilegal itu membuncahkan harapan pecinta sepakbola terhadap tunamen yang profesional yang tidak memakan dana APBD dan bersih dari konspirasi busuk.
Sebelum bergulir, belasan klub mendaftar jadi peserta LPI yang telah menggelar laga perdana di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, dengan mempertemukan tim unggulan Persema Malang melawan Solo FC, 8 Januari ini. Selain klub baru, tiga klub LSI memutuskan talak tiga dan menyeberang ke LPI. Ketiga klub itu ialah Persema, Persibo Bojonegoro, Jawa Timur, dan PSM Makassar, Sulawesi Selatan.
Beberapa klub di bawah naungan LSI disebut-sebut tengah pikir-pikir akan pindah ke LPI, termasuk Persija Jakarta dan Persib Bandung. Para petinggi Persija dan Persib, fans, dan pemimpin provinsi tempat kedua klub tersebut berdomisili telah menyuarakan dukungan mereka.
Persaingan LPI-LSI menggaet dukungan publik dan klub untuk bergabung berkompetisi sebenarnya bagus-bagus saja dan sehat buat perkembangan sepakbola Indonesia yang profesional, berkualitas, dan bebas dari intrik-intrik kotor di luar lapangan. Persoalannya, persaingan itu justru mengarah ke jalur perseturuan sengit antara PSSI pimpinan Nurdin Halid dan LPI beserta klub-klub dan para pendukung mereka yang tidak bisa dianggap remeh.
Tidak mungkin ada asap tanpa api. Tentu LPI tidak akan laku seandainya tidak ada daya tarik di satu pihak dan daya tolak di pihak lain. LPI pun tetap bergulir meski tekanan, ancaman hingga sanksi terhadap klub pesertanya diterapkan.
Di lain pihak, Nurdin Halid yang dikecam banyak kalangan klub dan pecinta sepakbola makin kuat cengkeraman pengaruhnya dengan menjadikan Kongres Tahunan di Bali 21-22 Januari pekan silam itu sebagai ajang konsolidasi. Kubu Nurdin Halid mampu menggalang janji setia untuk mengusung kembali sang ketua umum memimpin PSSI periode 2011-2015 pada Musyawarah Nasional Luar Biasa di Pulau Bintan, Kepulaun Riau, 19 Maret nanti. Sumpah setia itu mereka torehkan di atas kertas bermaterai.
Dua perkembangan itu menunjukkan, jika keadaan tidak berubah, berarti LPI bakal jalan terus bahkan mungkin berpotensi menjadi kompetisi favorit pecinta dan pemain sepakbola sejati. Di sisi lain, PSSI di bawah Nurdin Halid bakal tidak tergoyahkan kepemimpinannya.
Perkembangan tersebut sangat mengkhawatirkan karena berjalan tidak simetris apalagi sinergis. Siapa yang diuntungkan? Yang jelas sepakbola nasional menjadi korban. PSSI di bawah Nurdin Halid bolehlah berjaya sebagai organisasi, tetapi apalah artinya jika minus prestasi dan kompetisi yang digelarnya, yakni LSI, menjadi tidak lagi diminati lantaran diduga banyak intrik dan skandal. Popularitas LPI (seandainya nanti terus meraih simpati dan banyak klub yang bergabung) pun tiada guna jika kompetisi itu hanya menghasilkan jago kandang. Betapapun hebatnya performa klub yang menjuarai LPI, mereka tidak bisa tampil di Liga Champions Asia, apalagi dunia antarklub, lantaran FIFA tidak mengakuinya karena dianggap haram oleh PSSI.
Pemerintah tidak bisa lepas tangan melihat kondisi tersebut. Pemerintah harus menengahi secara tegas, adil, dan bijaksana. Tentu saja, langkah yang ditempuh pemerintah harus taktis dan strategis dalam koridor yang non-intervensi statuta FIFA. Jangan sampai kesalahan langkah seperti ketika menggelar Kongres Sepakbola Nasional di Malang, Jawa Timur, pada akhir Maret 2010, terulang kembali. Kongres yang disebut-sebut menghabiskan anggaran negara hingga Rp5 miliar itu menjadi pepesan kosong reformasi persepakbolaan nasional.

Sepak Bola Indonesia

Sebenarnya perkembangan sepakbola di Indonesia sekarang ini sudah menuju kearah yang lebih baik bila dibandingkan dengan perkembangan ditahun-tahun sebelumnya, dimana sekarang ini kita memiliki liga yang cukup profesional dan sangat digemari diseluruh nusantara yaitu ISL, dalam liga tersebut berbagai tim besar dari beberapa daerah yang tersebar dinusantara ini bersaing memperebutkan tahta juara. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya kita juga sudah bisa melihat sedikit kedewasaan dari para pendukung masing-masing tim kesayangannya, hal ini dapat dilihat dari animo pecinta sepakbola Indonesia baik itu orangtua maupun anak-anak yang tidak lagi merasa takut jika ingin menonton tim kebanggaannya main distadion.

Tapi tidak dipungkiri lagi masih ada saja oknum-oknum pecinta sepakbola Indonesia yang masih melakukan tindakan rasisme bahkan sampai bertindak anarkis jika timnya mengalami kekalahan, hal ini mungkin disebabkan oleh terlalu fanatiknya oknum-oknum tersebut terhadap tim kesayangannya. Padahal jika dilihat dari tindakannya tersebut dapat mengakibatkan kerugian baik itu untuk dirinya sendiri, oranglain maupun tim kebanggaannya yang didukung. Padahal dalam sebuah pertandingan itu menang atau kalah merupakan hal yang biasa, semoga saja ketertiban dalam persepakbolaan diIndonesia bisa semakin baik, tidak terjadi lagi tindakan rasisme bahkan tindakan anarkis sehingga kita bisa menambah persaudaraan diantara para suporter ditanah air, tidak lagi menaburkan kebencian diantara para pecinta sepakbola, karena kita satu bangsa dan satu tanah air yaitu Indonesia.
Maju terus persepakbolaan Indonesia.